Sabtu, Februari 21, 2009

Puncak Gunung

Jaman dahulu kala, ketika saya masih memakai seragam putih abu-abu, ada banyak kegiatan non ekstra ditawarkan.

Mulai dari paskibra, bikin majalah bulanan, sampai pecinta alam. Yang disebut terakhir ini yang mampu membuat jantung saya berdegup lebih kencang.

Ada rasa tersendiri saat kata "pecinta alam" disebutkan.

Dan saya pun akhir nya memilih untuk masuk menjadi anggota kegiatan tersebut, tentu saja setelah saya di-eliminasi dari kegiatan paskibra karena wajah saya -yang mungkin- pas pas an.

Beberapa gunung sudah saya jalani, sebut saja begitu karena sebenarnya memang sudah ada "jalan" yang dibuat untuk naik hingga ke puncaknya.
Berbagai pengalaman pun sudah dilalui, mulai dari "hanya pindah tempat tidur" sampai tidur dalam keadaan kehujanan di lereng gunung.
Saat itu ada rasa "menjadi lelaki" pada saat saya mengalami pengalaman-pengalaman tersebut.

Di usia yang beranjak tua ini saya mulai menanyakan pengalaman-pengalaman tersebut.
Benarkah "benar-benar" berguna ? Benarkah saya telah menjadi "pecinta alam" ?
Ataukah hanya sekedar gelegak darah muda seperti kata Bang Roma ? hehehe...

Ada rasa malu jika mengingat pengalaman "pindah tidur saja". Ada rasa sesal jika mengingat pengalaman memborong bunga edelwis hanya untuk ego semata. Ada rasa puas dan bangga jika mengingat badan yang kurus ini sudah mencapai puncaknya.

Saat membayangkan itu, saya kembali pada masa saat saya duduk di puncak gunung.
Hening tanpa suara selain angin kencang membawa gumpalan awan menyapa tubuh kurus saya.
Saat itu pula saya merasa kosong dan bertanya : setelah ini apa ?
Apa yang harus saya lakukan setelah sampai di puncak ?
Setelah perjuangan yang letih semalam dalam dingin yang terkadang dibarengi hujan.

Dalam penat yang belum usai
saya harus kembali turun
sebelum matahari terlalu panas untuk dinikmati.

Dalam perjalanan turun pulang saya seringkali berpikir,
setelah saya sampai puncaknya,
setinggi apapun puncak itu,
saya tetap harus kembali turun.